Exact Ngopi #3: Menimbang PPKM dari Perpektif Hukum, Benarkah Ada Konspirasi Dibaliknya ?

25 Juli 2021 - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM ) Jawa Bali telah berjalan selama kurang lebih 11 hari. Pemberlakuan tersebut memantik beragam respon masyarakat.
Pasalnya, sebelum PPKM diberlakukan, masyarakat telah dihadapkan oleh kebijakan PSBB yang cukup meresahkan. Akibat PSBB, kegiatan ekonomi, politik, sosial dan keagamaan direvolusi sedemikian rupa, dari ofline menjadi serba online. Tentunya, pemberlakuan kebijakan diatas didasarkan atas pertimbangan yang matang oleh pemerintah.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih dalam, khususnya terkait ritme pengambilan kebijakan oleh pemerintah terkait covid-19, ada sebuah isu menarik. Isu tersebut dikupas dari perspektif hukum dalam acara exact ngopi yang menghadirkan pakar hukum sekaligus pembina Exact, Dr. Sri Wahyuni , S.Ag., M. Ag., M.Hum.
Beberapa temuan yang beliau dapatkan adalah :
UU tentang kekarantinaan kesehatan ternyata sudah dipersiapkan sebelumnya, yakni dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Sebabnya adalah sebelum pandemi covid-19 ada disease berupa flu burung di tahun 2005 dan flu babi di tahun 2009. Ada rumor waktu itu flu tersebut akan dipandemikan, akan tetapi tidak jadi karena penyebarannya tidak human to human dan tidak semasif covid-19.
Ada satu yang beliau merasa aneh bahwa UU no 6 itu dibuat pada tahun 2018 sedangkan PP nya lahir pada tahun 2020, padahal PP itu adalah teknis pelaksanaan dari UU yang tahun 2018.
PP yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah RI nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka percepatan penanganan corona virus disease 19 ( covid 19). Kelanjutan dari kebijakan tersebut adalah Instruksi mendagrri nomor 15 tahun 2021 tentang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat corona virus disease 2019 ( covid-2019 ) di wilayah jawa dan bali merespon kasus covid di India yang massif
Kini, kebijakan PPKM dilanjutkan dengan Instruksi mendagri no 22 tahun 2021 ( PPKM Level 4 ). Lantas kenapa UU No 6 Tahun 2018 itu dibuat akan tetapi nggak aplikatif di tahun itu juga, ini kan aneh. Keanehan terkait keberjarakan antara UU no 6 tahun 2018 dengan PP lanjutannya ini menurut Beliau terdapat beberapa kemungkinan jawaban.
Pertama, Kalau secara teori hukum, Hukum secara teori adalah alat untuk merekayasa sosial. Negara itu punya kedaulatan secara eksternal dan internal, punya hak dan kekuasaan untuk mengatur teritori dan warganya secara internal. Secara eksternal tidak tunduk dibawah kekuasaan asing. Negara berhak menyatakan public policy. Cuman begini, dalam politik hukum menurut disertasi Mahfud MD, jika konfigurasi politik suatu negara itu demokratis, maka kecendrungan kebijakan yang dihasilkan bersifat responsif dan demokratis. Namun jika konfigurasinya itu otoriter maka kecendrungannya adalah represif.
Kedua, penelitian lanjutan Bu Sri menemukan bahwa ternyata beberapa kebijakan dalam politik hukum di Indonesia itu dipengaruhi oleh pengaruh kekuatan global internasional seperti neo kapitalisme atau neo liberalisme global.
Ketiga, Kenapa indonesia tidak menggunakan istilah lockdown karena lockdown itu mengharuskan negara untuk menanggung kebutuhan warga Indonesia semuanya selama 2 minggu. Karena keharusan itulah kenapa kemudian pemerintah Indonesia tidak menggunakan istilah lockdown karena pertimbangan terkait keharusan menanggung kebutuhan seluruh warga tersebut. Makanya Indonesia sangat politis untuk tidak menggunakan istilah lockdown.