Aku dan Topeng
“Aku dan Topeng”
“Untuk siapa kita hidup”
Percakapan Anis dengan langit kelabu dari jendela bus tua yang sedang membawa ia ke
rumah barunya. Udara dingin menyelimuti, membawa perasaan asing yang menekan. Setelah
kepergian neneknya 2 bulan lalu, sang ibu memutuskan untuk membawa Anis tinggal di tempat
barunya. Wilayah yang jauh dari pusat kota, dikelilingi oleh pepohonan pinus dengan sungai
yang membelah sebagian wilayah. Namun, dari awal kedatangannya, Anis tahu ada yang tidak
biasa dengan tempat ini.
Semua orang memakai topeng. Ia menyadari bahwa orang-orang di kota itu sangat
terobsesi dengan topeng. Topeng-topeng itu memiliki bentuk unik, dari yang sederhana hingga
yang dihiasi ornamen rumit. Namun, tak satu pun dari mereka menunjukkan wajah asli. Anis
kehabisan kata sekaligus merinding ketika melihat orang-orang itu berjalan di jalanan,
berbicara, dan tertawa dengan wajah yang tersembunyi. Layaknya sebuah hal yang wajar,
semua orang beraktivitas seperti biasa dengan topengnya masing-masing.
Sesaat Anis tiba di sekolah barunya, ia disambut dengan tatapan penuh rasa ingin tahu
atau mungkin kecurigaan mengarah padanya. Kulitnya merasa bergidik saat semua topeng-
topeng itu mengarah pada insan gadis tersebut. Anis, dengan wajahnya yang terbuka, merasa
seperti makhluk dari dunia lain. Jantungnya semakin berdegup ketika seseorang dengan
perawakan tinggi menghampirinya.
"Di sini, semua orang memakai topeng," katanya lembut tetapi tegas.
Anis ingin bertanya kenapa, tetapi ia hanya mengangguk pelan.
Hari pertama di sekolahnya berjalan dengan canggung. Di kelas, ia duduk sendirian di
barisan belakang. Tatapan dingin dari teman-teman sekelasnya dari balik topeng mereka
membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Tak ada yang menyapa, tak ada yang bertanya. Anis
tidak berbicara dengan siapa pun, memilih duduk dan berusaha menenangkan batinnya. Saat
jam istirahat, seorang gadis dengan topeng biru mendekatinya.
"Kau terlihat asing,"
Sang gadis tertawa kecil di balik topengnya. “Kenapa kau tidak memakainya?”
"Aku tidak butuh," jawab Anis kaku. "Aku tidak ingin seperti kalian."
Gadis bertopeng itu hanya mengangkat bahu. “Suatu hari kau akan mengerti.”
Anis merasa familiar dengan sosok gadis bertopeng itu, namun akhirnya ia berusaha
menepis pikiran-pikiran tidak penting tersebut. Pertemuan tersebut menjadi awal pertemanan
Anis dengan seseorang di tempat asing yang saat ini membuat perasaannya campur aduk. Gadis
itu menjadi sering muncul di sekitar Anis, mengikutinya seperti ekor baginya, dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah berhenti. meskipun Anis tidak selalu menjawab.
Hari-hari berlalu, dan rasa frustasi Anis semakin memuncak. Ia merasa terasing di
tempatnya sendiri, merasa bahwa tak satu pun dari mereka benar-benar memahami dirinya.
“Mereka semua sama saja!” bentaknya. “Hanya bisa bersembunyi, berpura-pura seperti
semuanya baik-baik saja.”
“Kau tidak lelah hidup tanpa topeng?” tanya sang gadis dari balik topengnya.
“Siapa yang kau pedulikan?” bentak Anis padanya. “Kenapa semua orang hidup seperti
ini?”
Sang gadis hanya terdiam sejenak dibalik topeng birunya. “Kadang, segalanya lebih mudah
dengan topeng. Kau bisa menyembunyikan hal-hal yang tidak ingin dilihat orang lain.”
“Itu pengecut,” gumam Anis, meskipun hatinya terasa tertusuk.
Malam itu, Anis menangis di kamarnya. Ia tahu kemarahannya bukan hanya untuk
perkataan gadis itu, tetapi juga untuk dirinya sendiri, dan kenyataan bahwa orang yang ia
sayangi telah meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Gadis bertopeng itu mengajak Anis berkeliling taman sore hari ketika matahari tertutupi
awan-awan murung. Pohon-pohon di sana tampak seperti siluet gelap yang diam, seolah
menyimpan rahasia.
“Kau pernah kehilangan seseorang?” tanya Anis memecah keheningan.
Gadis itu mengangguk pelan. “Aku rasa semua orang di sini pernah kehilangan sesuatu”
Anis menatap sang gadis. “Apa kau pikir, kalau aku memakai topeng, rasa sakit ini akan
hilang?”
Sang gadis hanya tersenyum samar di balik topengnya. “Mungkin tidak hilang, tapi kau akan
merasa terlindungi. Hanya sebentar, sampai kau siap.”
Anis merasa tenang, ada sesuatu dalam kata-kata dari mulut yang terhalang topeng itu,
meskipun ia tidak sepenuhnya percaya.
“Aku lelah,” ucap Anis dengan penekanan berharap seseorang mampu mengerti dirinya..
“Aku tahu,” jawab gadis bertopeng itu dengan lembut.
“Aku ingin semuanya kembali seperti dulu.”
“Kau tidak bisa kembali,” kata gadis bertopeng itu. “Tapi kau bisa melangkah maju, perlahan-
lahan. Itu yang sedang kau lakukan sekarang.”
Anis tidak menjawab, hanya menunduk.
“Aku ingin kabur dari sini,” kata Anis terdengar serius. “Kau mau ikut denganku?”
Sang gadis menggeleng pelan. “Aku tidak bisa.”
“Mengapa tidak?” sergah Anis. “Kau tidak perlu tinggal di tempat yang aneh ini. Kita bisa
pergi,”
Sang gadis hanya menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Ini adalah bagian dari diriku.
Kau tidak bisa membawa aku keluar dari sini.”
Anis merasa hatinya hancur.
Hari-hari berikutnya, Anis merasa semakin tenggelam. Ia mulai memahami mengapa
orang-orang di kota ini memakai topeng. Ia merasa dirinya adalah luka yang terbuka, dilihat
semua orang tanpa perlindungan.
Pada pagi yang dingin, Anis menemukan sebuah topeng putih polos di mejanya. Tidak
ada catatan, tetapi ia tahu itu dari gadis bertopeng itu. Untuk pertama kalinya, Anis memegang
topeng itu dengan tangan gemetar. Ia tidak memakainya, tetapi membawanya ke taman tempat
ia biasa bertemu dengan gadis itu. Namun, Anis tidak bisa menemukan insan bertopeng biru
itu di taman. Ia mencarinya di seluruh kota, tetapi temannya itu seperti lenyap begitu saja.
Hari-hari berlalu, dan Anis mulai memahami. gadis itu bukanlah seseorang yang harus
ia cari, tetapi adalah bagian dari dirinya sendiri, perwujudan rasa yang perlahan tumbuh di
dalamnya. Di akhir minggu, Anis berdiri di depan cermin, memegang topeng putih itu. Ia
tersenyum kecil. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa mengembalikan keadaan, tetapi rasa sakit itu
kini menjadi bagian dari dirinya yang membuatnya lebih kuat.
Perlahan, ia memasang topeng itu di wajahnya. Ketika ia melihat bayangannya di cermin,
Anis merasa perasaan asing yang selama ini menghantuinya perlahan memudar. Ia tidak lagi
merasa sendirian, ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang ia coba lawan
selama ini. Teman misteriusnya mungkin telah pergi, tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih
penting. Pemahaman bahwa terkadang, untuk bisa diterima, kau harus belajar menerima
terlebih dahulu.