Dari Jarang Respon Chat Hingga Matinya Sebuah Organisasi
Berorganisasi bagi mahasiswa adalah sesuatu yang wajar dan sangat dianjurkan. Dengan berorganisasi, seorang mahasiswa dilatih untuk berperan dan bertanggung jawab atas amanat yang diemban. Menurut beberapa senior saya, organisasi adalah tempat menjanjikan untuk menggodok mental. Bahwa ketika kamu aktif di dalamnya, ikut berperan dalam setiap lika-likunya, dan hingga kamu merasa bahwa organisasi adalah segala-galanya sesungguhnya adalah kenikmatan yang oleh para organisatoris disebut sebagai kenikmatan yang haqiqi.
Perlu diketahui, pada dasarnya setiap orang yang berkumpul dan memiliki kerangka konseptual untuk mencapai tujuan dapat disebut organisasi. Bahkan, keluarga kecilpun yang terdiri dari ayah, ibu dan anak juga masuk kedalam definisi ini. Akan tetapi, kenyataanya, di dunia moderen, definisi organisasi telah dipersempit menjadi sekumpulan orang yang berkumpul yang secara struktural memiliki hierarki jabatan, ad-art, dan administrasi secara formal dengan kerangka konseptual tertentu untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, jikalau menyebut organisasi, pasti akan selalu berhubungan dengan surat-surat resmi, surat perintah maupun surat undangan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, organisasi secara struktural setidaknya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota. Keempat elemen ini berperan penting dalam menjalankan organisasi. Hal ini disebabkan karena dalam mengelola organisasi dibutuhkan tenaga dari anggota-anggota yang memiliki kemampuan dan kapasitas masing masing. Adanya pembagian tugas semisal menjadi ketua, sekretaris, maupun bendahara bertujuan untuk memudahkan koordinasi dan mengerucutkan tupoksi. Ketua sebagai penanggung jawab tertingi memiliki amanat untuk mengclearkan setiap misi yang telah disusun untuk mewujudkan visi bersama, sedangkan sekretaris dan bendahara masing-masing memiliki tugas untuk mengelola setiap dokumen organisasi dan mengelola keuangan organisasi. Adapun anggota bertugas untuk memblow up setiap kebijakan ataupun instruksi yang dihasilkan dari rapat internal. Dengan rumusan tupoksi ini, diharapkan visi yang dituju dapat terwujud dengan efektif, efisien, dan tepat.
Akan tetapi, di balik sistem keorganisasian diatas yang bersifat struktural, ada lagi unsur yang sangat penting, yakni unsur kultural. Unsur kultural ini adalah unsur eksternal yang memiliki peran penting dalam menjamin berjalannya organisasi. Hal ini di sebabkan bahwa pelaku organisasi adalah manusia yang memiliki perasaan dan pikiran. Mereka bukan robot yang kaku yang hanya mengikuti perintah yang di instruksikan kepadanya. Mereka adalah manusia yang memiliki kehendak bebas untuk memilih apa yang akan mereka kerjakan dan apa yang tidak mereka ingin kerjakan. Oleh sebab itu, kesadaran akan kekompleksan manusia ini perlu diperhatikan ketika seseorang masuk dalam dunia keoranisasian. Karena, fakta menyatakan bahwa terkadang, intruksi yang diberikan ketua ditolak atau bahkan di anggap sebagai angin lalang.
Beberapa menyebutkan bahwa hal ini karena adanya pertikaian perasaan antar pengintruksi dengan yang diinstruksikan. Bagaimanapun pentingnya intruksi itu, tetapi jikalau antara kedua agen itu terjadi pergolakan, dijamin bahwa intruksi itu tidak akan berjalan dengan semestinya. Sehingga, tak jarang kita temukan beberapa organisasi yang memiliki kelengkapan struktur secara formal, akan tetapi “ hidup segan mati tak mau”. Kenyataan ini dapat dilihat dari beberapa organisasi yang dalam program kerja yang di gagas jarang sekali terlaksana. yah, demikian ini karena faktor tadi, tidak adanya hubungan yang harmonis antar elemen.
Nah, untuk mengantisipasi kematian sebuah organisasi dibutuhkanlah keahlian-keahlian untuk menjalin hubungan yang harmonis. Menurut Imam Ali KW, hubungan yang harmonis akan tercapai jikalau adanya hubungan perasaan yang kuat antar elemen organisasi. Dalam kata mutiara beliau “ manusia jikalau diikat badannya, ia akan berontak. Sedangkan jikalau diikat hatinya, ia akan tenang” mengindikasikan bahwa ketika perasaan antara satu dengan yang lainnya telah terpaut erat, niscaya bagaimanapun beratnya intruksi yang di berikan pasti akan terlaksana. Hal ini karena, intruksi yang pada awalnya bersifat formal berubah menjadi belaian yang memabukkan.
Namun, bagaimana cara mengikat hati mereka untuk mewujudkan hubungan yang harmonis?. Jawabannya adalah dengan memasifkan komunikasi antar elemen dan keterbukaan. Bahwa semakin sering seorang individu berkomunikasi secara terbuka dengan individu lainnya, maka semakin eratlah hubungan keduanya. Teori ini disampaikan oleh brown dari hasil penelitianya. Ia menyebutkan bahwa semakin seseorang terbuka terhadap dirinya kepada orang lain, maka semakin terbukalah blind area yang ada pada diri masing-masing individu. Berawal dari teori ini, maka tak ayal jikalau kita menemukan bahwa kebanyakan orang yang dijadikan sahabat sejati oleh sesorang adalah teman-teman curhatnya. Bahkan, tak jarang kita menemukan, ketika seseorang harus berpisah dengan kawan curhatnya, air mata meleleh membasahi pipi disebabkan sedih akan berpisah.
Disamping itu, komunikasi pada dasarnya akan berjalan jikalau terdapat dialog atau timbal balik antar pertanyaan yang diajukan. Aspek dialog ini sangat penting dalam komunikasi disebabkan kedudukannya yang urgent. Tanpa adanya dialog, komunikasi yang dilakukan pasti akan menemukan jalan buntu. Dalam menjelaskan dialog ini, Buber menyebutkan bahwa setiap orang mengajukan pertanyaan dalam sebuah dialog harus dijawab oleh lawan bicara. Pernyataan ini berdasar pada bahwa ketika seseorang mengajukan sebuah pembicaraan, secara intuisi sebenarnya ia ingin diperhatikan, dianggap ada, dan di respon.
Oleh sebab itu, tidak etik kiranya lawan bicara tidak mengindahkan pembicaraan yang diajukan seseorang. konsep ini oleh Buber disebut etika dialogis. Konsep ini dalam realita organisasi biasanya di didonimasi oleh orang-orang yang aktif dan memiliki nama dalam organisasi. Mereka biasanya adalah orang-orang yang telah terlebih dahulu melakukan komunikasi secara masif. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang jarang melakukan komunikasi. Orang-orang ini adala anggota organisasi yang pasif atau bahkan dapat disebut sebagai “ada tapi tiada”, ada secara struktural namun tiada secara kultural. Merekalah yang biasanya di dalam grup WA jarang nyolek atau bahkan tidak pernah sama sekali nongol dalam pembicaraan grup. Apabila dalam sebuah organisasi atau sebuah grup organisasi di dominasi oleh anggota-anggota yang memiliki sifat ini, dapat dipastikan bahwa organisasi itu sedang sakit kronis. Secara formal ada, tetapi secara kultural tiada.
Dari paparan diatas, perlulah di adakan program penjalin keakraban sejak awal berdirinya organisasi. Program ini setidaknya sebagai sebuah tindakan preventif guna mengantisipasi matinya organisasi. Program sebaiknya bersifat fleksibel dan hanya sebagai hura-hura belaka. Karena, pesan hati dan perasaan akan cepat tersambung ketiak kondisi hati sedang rileks dan gembira. Akan tetapi, tidak berhenti di situ saja. Karena ada kalanya dimana penyakit bosan melanda. Untuk mengantisipasi hal itu, tindakan secara kulturallah yang berperan penting. Yakni dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang halus dan tidak memaksa. Salah satu caranya adalah dengan memasifkan komunikasi melalui pantikan-pantikan pembicaraan. Dengan terobosan-terobosan ini, insyaAllah sebuah organisasi tidak akan pernah mati.
Untuk menutup tulisan ini, penulis hanya akan memfollow up satu hal yang sangat urgent, yaitu “ Ketika sahabatmu mengajukan pertanyaan atau pembicaraan, maka responlah dengan serta merta!”
BTW, ini hanyalah bacotan saya. Setidaknya saya telah menulis. Walaupun pada realitanya saya adalah orang yang termasuk dalam golongan pasif, tetapi setidakya lagi tulisan ini dapat memperluas cakrawala.