Tumbuh Lebih Baik

Tumbuh Lebih Baik

Melodi untuk menemanimu: Nina - .Feast
Pukul sepuluh malam, dan mataku mulai terasa berat karena mengantuk. Namun
kutahan sebisa mungkin karena menunggu sebuah rutinitas penting. Beberapa menit kemudian
pintu kamar terbuka, menampilkan sosok ayah yang baru saja pulang bekerja. Ia mendekat,
menghampiri seorang anak lelaki yang separuh tertidur di ranjang, duduk di samping kasur dan
mengelus rambutnya, bertanya tentang apa saja yang telah ia lalui hari ini; tentang sekolahnya,
tentang teman-temannya, juga tentang apa yang ingin ia ceritakan. Ayah juga menjanjikannya
mainan jika ulangannya besok mendapat nilai sempurna. Tidak berhenti disana, ayah
membacakan dongeng sehingga anak itu memejamkan mata. Terakhir, ia mendoakannya agar
menjadi anak baik dengan kebahagiaan yang akan selalu berlimpah kepadanya. Seusai
mematikan lampu tidur, sosoknya menghilang seiring dengan pintu kamar yang tertutup.
Hening selama beberapa saat, hingga tiba-tiba anak itu membuka mata dan kembali
menyalakan lampu, kemudian menaiki tangga untuk mencapai kasur di atasnya. Iya, kamar itu
memiliki ranjang yang berbentuk tingkat, dengan aku yang mengisi di bagian atas.
Anak lelaki itu menghampiriku yang terbaring namun belum terpejam, ia tahu aku
menunggunya sedari tadi. Anak itu kemudian mengelus rambutku dan menepuk-nepuknya
pelan, memujiku karena tidak nakal dan menurut padanya hari ini. Menceritakan kembali
dongeng yang tadi ia dengar menggunakan bahasanya sendiri, sesekali memperagakannya
dengan antusias. Ia juga berjanji padaku akan mendapatkan nilai sempurna esok hari dan
membagi hadiah yang akan ia dapatkan denganku. Setelahnya ia mengajakku membaca do`a
sebelum tidur, juga memohon semoga do`a dari ayah untuknya turut dilimpahkan kepadaku.
Terakhir ia memelukku, mengatakan semua akan baik-baik saja karena aku selalu bisa
mengandalkannya. Aku membalas pelukannya lebih erat, namun tak mengatakan sesuatu
karena ia tetap akan mengerti betapa aku menyayanginya lebih dari apapun. Ia mengusak
rambutku sekali lagi, menuruni tangga dan mematikan lampu. Tidak lama setelahnya hening
kembali menerpa, kali ini adalah hening yang sesungguhnya. Rutinitas malam itu persis seperti

malam-malam yang telah lalu, yang kuharapkan tetap akan selalu seperti itu juga di malam-
malam yang akan datang.

~

Saat aku menginjak gerbang sekolah, di sana kakakku telah menunggu seperti biasa,
dengan sepeda kuning kebanggaanya seperti biasa pula. Aku menempatkan kaki pada panel
pijakan dengan mantap, juga memegang pundak kakakku erat. Ia kemudian mengayuh
sepedanya saat aku mengatakan siap, membawa sepeda kuningnya menyusuri kota kecil kami
yang damai.
Dia adalah kakakku, anak lelaki yang yang membantuku agar tertidur setiap malamnya
adalah kakak. Dia menyayangiku walau tahu aku merupakan anak yang tidak diharapkan,
sorang anak yang telah membuat hancur keluarganya yang tadinya cemara. Kakak berada di
keluarga lengkap sebelum ibu berselingkuh dan akhirnya mengandungku. Setelahnya ibu
meninggal bahkan saat aku belum dapat berbicara dengan benar. Ayah mulanya berniat
mengirimku ke panti asuhan, namun urung karena kakak terlanjur menyayaingiku. Bahkan
setelah kakak telah cukup mengerti dengan semua masalah yang menimpa keluarganya, ia tetap
menggangapku sebagai adik satu-satunya yang ia punya.
Berkali-kali ayah membujuk kakak agar ia merelakanku untuk dibawa saja ke panti
asuhan, namun kakak selalu mengatakan tidak,
“adik tidak salah, ayah! Mungkin ayah benci ibu tapi tolong jangan benci adik juga! Jika ayah
ingin membawa adik pergi maka aku akan ikut dengannya”
Ayah menyerah, membiarkan seorang anak yang tidak pernah ia harapkan
kehadirannya menjadi bagian dari rumah itu. Ayah memang membelikanku pakaian,
memberiku makanan, juga membayarkan sekolahku. Namun pandangannya tidak pernah jatuh
padaku barang sebentar. Memangnya siapa yang sudi dengan anak dari selingkuhan istrimu
sendiri?
Namun seperti sudah di setting, kakak melakukan semua hal yang seharusnya dilakukan
oleh orangtua. Ia memboncengku saat pulang-pergi sekolah, membantuku mengerjakan pr,
membagi apapun yang ia punya sekaligus menjadi temanku bermain setiap harinya. Sampai
dimana kakak yang akan membantuku tertidur setiap malamnya, karena ayah tidak akan
mungkin melakukannya untukku.
“Kita tidak punya ibu, sedangkan ayah harus mencari nafkah. Menjaga kamu adalah cara kakak
mengambil tanggung jawab dalam keluarga” ucap kakakku saat kutanya mengapa harus dia.
Ah, jawaban bohong yang cukup menghibur hatiku.

“Lalu aku? Apa yang harus kulakukan untuk keluarga ini?” pertanyaan bodoh, satu-satunya
cara untuk membantu keluarga ini adalah dengan kepergianku. Namun aku hanya penasaran
dengan jawaban apa yang akan diberikannya.
Kakakku tak langsung menjawab, ia malah membawaku ke sebuah toko es krim yang
kebetulan kami lewati dalam perjalanan pulang. Kini dua es krim telah berada di tangan kakak,
rasa coklat untukku dan vanila untuk dirinya sendiri. Kami kemudian berjongkok dengan asal
di depan toko, menghabiskan es krim sebelum meleleh karena panas matahari.
“Tumbuh saja lebih baik dari kakak, itu sudah lebih dari cukup” aku terdiam, urung melahap

kembali es krim yang tersisa setengah karena kakak yang menjawab pertanyaanku dengan tiba-
tiba. Sebuah kalimat singkat yang sederhana, namun tidak akan ada yang mengerti seberapa

berpengaruhnya kalimat itu bagiku. Kakak bangkit dari posisinya, bersikap seolah tak pernah
mengatakan apapun.
“Kakak mendapat nilai sempurna, dan sudah meminta lego baru pada ayah. Ayo cepat pulang,
bukannya kamu yang sedari kemarin ingin bermain lego? berkata terus-terusan tentang betapa
serunya jika bisa membuat gedung tinggi dengan... aduh!”
Aku melompat ke punggung kakakku sebelum ia mengoceh lebih banyak. Kakak
setelahnya hanya tertawa mengetahui aku yang tidak bisa menahan cengiran karena terlalu
antusias, tak sabar bermain lego baru. Lupakan soal peran ayah ataupun ibu, bagiku memiliki
kakak sudah lebih dari cukup. Meski aku juga harus terus meremas hati karena sikap ayah
ataupun cacian orang-orang yang juga mengetahui asal-usulku. Selagi kakak yang menjadi
garda terdepan untuk melindungiku, apapun tidak akan menjadi soal. Karena aku tahu semua
akan baik-baik saja.
Selesai.