PIGURA TUA DI KAMAR IBU

PIGURA TUA DI KAMAR IBU

Si Pena

Serupa wajahmu lusuh terpampang sunyi

di antara deretan buku dan potret pigura itu

dengan mekar senyum berkaca di mata

Aku memandangmu dari lekuk ingatan

hingga menakar di langit keabadian

bunga-bunga melati mewarnai di atas kuburan, ibu

dan bahkan doa-doa selalu kutabur

di antara tembang kerinduan menderu

sementara lukisan namamu ibu selalu

terukir dan bersekutu dengan bingkai tua dikamar itu.

Rupanya waktu begitu cepat merestuiku dengan sepi

membiarkan sajak-sajak ini menangis dari sudut hatinya

sembari merenungkan mimpi rahasia

dan percakapan masa lalu di samping ranjang

memandang lukisan tua berselaksa dalam pelukanmu.

Pada malam yang menandai kesunyian

pada selembar surat yang tersirat atas nama puisi

di kota lemari yang membuatku memutar ingatan

meski air mata selalu terbuka mengalir

mengaliri wajahku yang memerah.

Dalam pigura itu wajahmu terlihat lusuh, namun bercahaya

aku tak pernah alpa melarutkan biji-biji ketabahan

yang akan tumbuh serupa doa dalam diriku

menunaikan janji dan kebahagiaan berucap dalam lisanmu

"Nak, kebahagiaan itu akan datang dengan cepat

Selagi kau mau melakukan yang tepat, bukan sesaat"

lengking suara ibu mulai samar dalam mimpi

Ibu, demikian selembar surat terakhir darimu

yang bisa kubaca selain derai air mata

di atas sajadah pemberianmu yang biru

meski kenyataannya lumpuh dan bersimpuh dalam sujud tahajud yang kurajuk.

Waktu ke waktu semakin tua dan keriput

semakin lusuh juga pigura di dinding kamarmu

pintu pun tak lagi perawan bagi kata-kata

dan diam menyelinap membawa aroma angin surga

dari jendela yang selalu terbuka atas nama rindu.